Jakarta – Wakil Ketua Badan Amil Zakat Nasional (Baznas), Mokhamad Mahdum, menyampaikan pandangan tegas bahwa masa depan pengelolaan masjid di Indonesia sangat bergantung pada kualitas dan kredibilitas para pengurusnya. Takmir masjid, menurut Mahdum, bukan sekadar penjaga rumah ibadah, melainkan pilar utama dalam mewujudkan fungsi masjid yang holistik — dari tempat ibadah hingga pusat kesejahteraan umat.
“Kita tidak bisa bicara zakat triliunan kalau pengurusnya tidak siap. Kredibilitas takmir itu kunci,” kata Mahdum dalam forum Sarasehan Kemasjidan dan Lokakarya Nasional Badan Kesejahteraan Masjid (BKM) 2025 yang digelar di Jakarta, Selasa.
Ia menegaskan bahwa kepercayaan masyarakat terhadap lembaga zakat dan masjid tidak dibangun dalam sehari, melainkan melalui kerja konsisten, transparansi, dan tata kelola yang akuntabel. “Masjid punya akses paling dekat ke masyarakat. Kalau dikelola dengan amanah dan profesional, dampaknya luar biasa,” ujarnya.
Masjid Bukan Hanya Tempat Ibadah
Mahdum menyoroti perlunya revitalisasi peran masjid sebagaimana yang dicontohkan pada masa Rasulullah SAW. Masjid kala itu bukan hanya tempat salat, tetapi juga pusat pemerintahan, pengadilan, pendidikan, pelayanan kesehatan, dan ekonomi. Menurutnya, semangat inilah yang perlu dibangkitkan kembali, terlebih dengan situasi sosial-ekonomi masyarakat yang masih memerlukan banyak intervensi berbasis komunitas.
“Masjid zaman Nabi itu multifungsi. Hari ini pun bisa, asal ada sistem dan pengelolaan yang kredibel,” tegasnya.
Sebagai bukti nyata, Mahdum mencontohkan praktik baik di sebuah desa di Cimahi, Jawa Barat. Melalui pengelolaan masjid yang berbasis SOP dan sistem rumpun yang terstruktur, masjid di wilayah itu mampu menghimpun dana sosial hingga Rp11 miliar per tahun. Angka yang fantastis, menurutnya, mengindikasikan bahwa potensi pemberdayaan berbasis masjid sangat besar jika dikelola secara profesional.
Potensi Zakat Rp50 Triliun dari Masjid
Dalam paparannya, Mahdum mengungkapkan bahwa potensi zakat yang bisa dihimpun dari jaringan masjid di Indonesia diperkirakan mencapai Rp50 triliun per tahun. Namun hingga kini, angka itu belum tersentuh secara maksimal karena lemahnya integrasi sistem antara masjid, Unit Pengumpul Zakat (UPZ), dan Baznas.
“Potensinya luar biasa, tapi integrasi sistemnya masih lemah. Masih banyak masjid yang berjalan sendiri-sendiri, tidak terkoneksi dengan sistem pengelolaan zakat nasional,” ujarnya.
Untuk itu, Baznas terus mendorong masjid-masjid untuk menjadi bagian dari sistem nasional pengelolaan zakat dengan bergabung sebagai UPZ resmi. Langkah ini, kata Mahdum, penting agar dana umat dapat dikelola secara akuntabel dan dampaknya lebih terasa ke masyarakat luas.
“Bayangkan kalau seluruh masjid menerapkan sistem seperti di Cimahi. Ini bukan mimpi, ini soal kemauan dan manajemen,” tegasnya.
Masjid sebagai Motor Kesejahteraan
Lebih jauh, Mahdum mengatakan bahwa visi Baznas adalah menjadikan masjid sebagai pusat peradaban umat yang bukan hanya aktif dalam kegiatan ibadah, tetapi juga dalam pendidikan, sosial, hingga pengentasan kemiskinan. Dengan kualitas SDM takmir yang unggul, masjid dapat memainkan peran penting sebagai penggerak pembangunan berbasis komunitas.
“Dengan masjid sebagai simpul, kita bisa dorong program-program sosial, dari beasiswa anak yatim, pelatihan kerja, layanan kesehatan, hingga pembiayaan UMKM,” ujar Mahdum.
Ia menutup dengan ajakan kolaboratif kepada seluruh stakeholder, baik dari lembaga pemerintah, ormas keagamaan, akademisi, hingga komunitas lokal, untuk bersama-sama memperkuat peran strategis masjid di tengah masyarakat.
“Masjid bukan milik satu kelompok. Ia milik umat. Maka pengelolaannya pun harus bisa menjawab kebutuhan umat,” kata Mahdum.