Jakarta — Pembahasan revisi Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) kembali menjadi sorotan. Di tengah wacana reformasi hukum pidana, sejumlah pakar mengingatkan agar semangat perubahan dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) KUHAP benar-benar mengedepankan perlindungan hak asasi manusia (HAM), tidak hanya untuk pelaku tindak pidana, tetapi juga korban.
Hery Firmansyah, pakar hukum pidana sekaligus dosen Fakultas Hukum Universitas Tarumanegara, mengingatkan agar DPR RI sebagai pemegang mandat legislasi tidak tergelincir dalam narasi sepihak yang hanya menekankan pada kecepatan penanganan perkara (speedy trial), namun justru menihilkan prinsip keadilan yang seimbang (fair trial).
“Yang harus dijaga dalam perubahan KUHAP ini adalah bagaimana desain hukum acaranya tetap melindungi dan menghormati hak asasi manusia,” kata Hery dalam forum legislasi bertajuk Komitmen DPR Menguatkan Hukum Pidana melalui Pembahasan RUU KUHAP, Selasa, di Kompleks Parlemen Senayan.
Menurutnya, KUHAP yang lama cenderung timpang. Terlalu fokus memberikan ruang perlindungan hukum bagi tersangka dan terdakwa, namun mengabaikan hak korban. Satu-satunya ruang yang tersedia bagi korban dalam KUHAP saat ini, kata dia, hanya berkaitan dengan aspek ganti rugi. “Selebihnya tidak ada pembicaraan tentang hak korban,” ujar Hery.
Ketimpangan Perlindungan Korban
Pernyataan Hery mempertegas kritik lama terhadap KUHAP, yang kerap dinilai terlalu formalistik dan kurang progresif dalam merespons dinamika keadilan restoratif. Dalam KUHAP versi 1981, hak-hak tersangka seperti bantuan hukum, larangan penyiksaan, dan jaminan proses pengadilan yang adil diatur cukup rinci. Sementara hak korban, yang sejatinya menjadi pihak paling terdampak, justru minim perhatian.
“Padahal korban membutuhkan pengakuan, pemulihan, dan kepastian hukum yang setara. Dalam praktiknya, sering kali korban justru merasa menjadi pihak yang terpinggirkan dalam proses hukum,” kata Hery.
Minta Partisipasi Publik dan Hukum yang Jelas
Lebih jauh, ia juga menekankan pentingnya keterlibatan publik yang bermakna (meaningful participation) dalam proses legislasi. Menurutnya, pembentukan undang-undang di bidang hukum pidana tidak boleh hanya bersifat teknokratis atau elitis.
“Karena pidana ini menyangkut kebebasan orang. Maka penyusunannya harus tegas, jelas, dan tidak multitafsir. Harus sesuai prinsip lex certa, lex scripta, lex stricta. Tidak boleh ada celah penafsiran liar,” ucapnya.
Ia pun berharap DPR tidak tergesa-gesa, melainkan memikirkan secara jernih bagaimana menjaga keseimbangan antara hak tersangka dan hak korban. “Karena yang paling mahal dalam penegakan hukum itu adalah implementasinya. Jadi asas utama equality before the law harus nyata,” tambahnya.
Komisi III Mulai Bahas RUU KUHAP
Pada hari yang sama, Komisi III DPR RI resmi memulai pembahasan RUU Perubahan atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana. Ketua Komisi III, Habiburokhman, didapuk sebagai ketua Panitia Kerja (Panja) RUU KUHAP. Sejumlah anggota dari lintas fraksi juga dilibatkan dalam kepemimpinan Panja, termasuk Dede Indra Permana (PDIP), Sari Yuliati (Golkar), Ahmad Sahroni (NasDem), dan Rano Alfath (PKB).
Dalam rapat kerja perdana bersama Kementerian Hukum dan HAM serta Kementerian Sekretariat Negara, DPR menyatakan komitmen untuk memperkuat sistem peradilan pidana nasional melalui revisi KUHAP.
Namun, pertanyaan besar masih menggantung: apakah revisi ini benar-benar berpihak kepada keadilan substantif dan perlindungan menyeluruh bagi warga negara? Atau justru akan mengulang sejarah yang terlalu fokus pada prosedur, tetapi abai pada substansi keadilan?