Jakarta – Pemerintah Indonesia bersama sektor swasta telah mengajukan paket pembelian komoditas dan investasi kepada Amerika Serikat (AS) senilai US$ 34 miliar atau sekitar Rp 547 triliun (kurs Rp 16.100). Namun, tawaran tersebut tidak berhasil mencegah Presiden AS Donald Trump menetapkan tarif impor sebesar 32% untuk produk Indonesia.
Tarif tersebut akan resmi diberlakukan mulai 1 Agustus 2025. Keputusan itu disampaikan langsung Trump dalam surat resmi yang ditujukan kepada Presiden RI Prabowo Subianto.
Trump Tak Luluh, Ada Tujuan Politik dan Tekanan Ekonomi
Direktur Eksekutif Center for Strategic and International Studies (CSIS), Yose Rizal Damuri, menilai keputusan Trump tidak semata-mata bertujuan menekan defisit perdagangan AS. Ia menyebut langkah ini merupakan bagian dari strategi yang lebih besar.
“Trump ingin negara-negara mitra melakukan reformasi ekonomi sepihak dengan menghapus regulasi yang menghambat masuknya produk AS,” ujar Yose saat dihubungi, Selasa (8/7/2025).
Lebih lanjut, Yose menjelaskan bahwa tekanan tarif ini juga menjadi alat politik untuk mendorong negara-negara mitra, termasuk Indonesia, agar mengurangi ketergantungan terhadap Tiongkok dalam berbagai sektor seperti rantai pasok, investasi, hingga teknologi.
“Negara-negara yang dianggap tidak memenuhi permintaan AS kini dikenai tarif sebagai bentuk ‘hukuman’,” jelasnya.
Pendekatan Sepihak Trump Dinilai Rugikan Mitra Dagang
Senada, Direktur Ekonomi Digital Center of Economics and Law Studies (Celios), Nailul Huda, menyayangkan hasil negosiasi panjang yang tidak membuahkan hasil. Ia menyebut pendekatan Trump sangat sepihak dan penuh tekanan politik.
“Berbagai upaya telah dilakukan, tetapi Trump tetap berdalih soal ‘National Security’ untuk menerapkan tarif tinggi ke berbagai negara, termasuk Indonesia,” kata Huda.
Ia menilai negosiasi kemungkinan besar tidak akan lagi mengubah keputusan tersebut, kecuali Indonesia memiliki “senjata” diplomatik atau strategi baru yang belum diungkap.
Dorongan Penguatan Domestik dan Diversifikasi Pasar
Menanggapi kebijakan AS, Huda menekankan pentingnya penguatan daya beli domestik agar sektor dalam negeri tidak terdampak signifikan. Selain itu, industri nasional perlu dipersiapkan lebih matang, termasuk melalui pembangunan infrastruktur dan peningkatan organisasi industri.
Pemerintah juga diminta mencari pasar alternatif di luar AS, seperti kawasan Amerika Latin, Timur Tengah, dan Afrika.
“Jika berani, Indonesia bahkan bisa mengenakan tarif balasan terhadap jasa-jasa asal AS, seperti layanan digital dan hiburan,” ujarnya.
Kebijakan tarif 32% dari AS terhadap Indonesia menunjukkan dinamika perdagangan internasional yang semakin kompleks, di mana isu ekonomi kerap bersinggungan dengan geopolitik dan kepentingan domestik negara mitra.